Jumat, 08 November 2013

artikel kesehatan

Rabu, 06 November 2013

CINTAI PARU - PARU ANDA !

“KANKER PARU”


Kanker paru merupakan penyebab kematian terbanyak karena kanker. Sebanyak sepertiga kematian karena kanker di seluruh dunia disebabkan kanker paru. Sedangkan di Amerika Serikat (AS), kanker merupakan penyebab kematian kedua terbanyak dengan tingkat mortalitas tertinggi adalah kanker paru.  Gambar 1 menampilkan tren tingkat mortalitas kanker di Amerika Serikat tahun 1930-2006 pada laki laki dan perempuan. Pada tahun 2010 American Cancer Society (ASC) memperkirakan bahwa kanker paru-paru mencapai lebih dari 222.520 kasus baru di Amerika Serikat selama tahun 2010 dan 157.300 kematian akibat kanker. Berdasarkan laporan Direktorat Jenderal Pelayanan Medik tahun 2004, kanker paru menempati peringkat keenam diantara sepuluh penyakit neoplasma ganas terbanyak pasien rawat inap di rumah sakit di Indonesia dengan jumlah penderita 2.757 orang atau dengan proporsi 3,2%. Angka ini meningkat menjadi 5,8% pada tahun 2005.

Gambar 1. Tingkat mortalitas kanker per tahun disesuaikan berdasarkan usia pada (a) laki-laki dan (b) perempuan di Amerika Serikat tahun 1930-2006. 

Dalam praktek klinik, kanker paru dibagi menjadi dua tipe yaitu kanker paru karsinoma bukan sel kecil (KPKBSK atau non small cell lung cancer / NSCLC) dan kanker paru karsinoma sel kecil (KPKSK atau small cell lung cancer / SCLC). NSCLC lebih sering ditemukan dan merupakan 85% dari semua kasus kanker paru. NSCLC lebih lambat bermetastase ke organ lain dibandingkan dengan SCLC. Ada tiga jenis utama kanker NSCLC yang diberi nama sesuai dengan jenis sel dimana berkembang yaitu  squamous cell carcinoma (20-30% dari kanker paru), adenocarcinoma (40-50% dari kanker paru), dan large cell carcinoma (5-10% dari kanker paru). Selain dibagi berdasarkan tipe selnya, kanker paru juga dibagi berdasarkan stadium klinis yang mengacu pada sistem TNM (tumor, nodul, metastase). Pembagian tipe dan stadium klinis kanker paru tersebut memudahkan dalam penatalaksanaan kanker paru.
Saat ini paradigma terapi telah bergeser menjadi lebih rasional ke arah terapi target dengan penemuan obat anti kanker yang baru. Agen terapi target yang bekerja menghambat jalur sinyal Epidermal Growth Factor Receptor (EGFR) yakni Tyrosin Kinase Inhibitor (TKI) seperti gefitinib dan erlotinib telah mulai digunakan dan menjadi contoh pergeseran paradigma terapi.
          Pada laporan kasus ini dilaporkan seorang penderita tumor paru jenis adenokarsinoma  dengan hasil pemeriksaan EGFR mutasi positif dan telah menjalani terapi target yaitu gefitinib 250 mg per hari.

LAPORAN KASUS
  • Telah dilaporkan satu kasus, perempuan umur 47 tahun, dengan Diagnosis Tumor Paru jenis NSCLC tipe adenicarsinoma dengan staging IB ( T2 N0 Mx ) ditegakkan berdasarkan anamesis, pemeriksaan fisik, foto thoraks, MSCT scan thorax, dan pemeriksaan sitologi. Pasien ini mendapatkan terapi gefitinib 250 mg per hari berdasarkan hasil pemeriksaan EGFR mutasi positif. Gefitinib adalah salah satu TKI yang merupakan agen terapi target yang bekerja menghambat jalur sinyal EGF.
  • Telah dilaporkan satu kasus, perempuan umur 47 tahun, masuk RS X(tipe B) dengan keluhan sakit kepala hebat dan setelah perawatan hari ke-4 pasien mengalami kesadaran menurun akhirnya dirujuk ke RS Y(Tipe A). Tidak ada keluhan sesak, nyeri dada, demam, batuk hanya kadang-kadang tidak berlendir dan tidak disertai darah. Riwayat penurunan berat badan 2 kg dirasakan sejak 1 bulan. Tidak ada riwayat terpapar dengan asap rokok. Tidak ada riwayat penyakit tumor dan tidak ada keluarga menderita penyakit kanker. Pasien bekerja sebagai PNS.
Pada fase awal kebanyakan kanker paru tidak memberikan gejala-gejala klinis yang berat. Apabila sudah menimbulkan gejala berarti pasien dalam stadium lanjut. Adapun manifestasi klinis tidak khas ( menyerupai penyakit paru lainnya ). Manifestasi klinisnya tergantung pada tipe dan lokasi tumor, luasnya penyebaran lokal, adanya metastase jauh, dan adanya sindrome paraneoplastik.
Anamnesis yang lengkap dan pemeriksaan fisis yang teliti, merupakan kunci untuk diagnosis yang tepat. Selain gejala klinis yang telah disebutkan sebelumnya, beberapa faktor perlu diperhatikan pada pasien tersangka kanker paru seperti umur, kebiasaan merokok, adanya riwayat kanker dalam keluarga, terpapar zat karsinogen atau jamur, dan infeksi yang dapat menyebabkan nodul soliter paru.
Seperti umumnya kanker yang lain penyebab yang pasti dari pada kanker paru belum diketahui, tapi paparan inhalasi berkepanjangan suatu zat yang bersifat karsinogenik merupakan faktor penyebab utama disamping adanya faktor lain seperti kekebalan tubuh, genetik dan lain-lain. Dari beberapa kepustakaan telah dilaporkan bahwa etiologi kanker paru sangat berhubungan dengan kebiasaan merokok. Wang dkk melaporkan bahwa status merokok, termasuk lamanya merokok dan jumlah rokok yang dihisap per hari, memainkan peran penting dalam mutasi EGFR pada pasien dengan adenokarsinoma paru. Belakangan, dari laporan beberapa penelitian mengatakan bahwa perokok pasif pun akan berisiko terkena kanker paru.
Pasien ini tidak ada riwayat terpapar dengan asap rokok, asbes, radiasi maupun polusi udara karena pasien dan suaminya tidak merokok, bekerja sebagai PNS. Pada penderita kanker paru yang tidak merokok, variasi jenis sel dipengaruhi oleh faktor genetik. Menurut Wong dkk, ketidakseimbangan alel pada 16q24, 17q22 dan 19q13,3 berpengaruh terhadap timbulnya kanker paru tipe adenokarsinoma terutama perempuan.  Faktor hormonal juga berperan dalam timbulnya kanker paru terutama pada perempuan. Hormon yang berperan adalah estrogen. Estrogen dapat memicu karsinogenesis dengan mengaktivasi proliferasi sel secara langsung pada fibroblast paru atau melalui aktivasi metabolik sehingga menyebabkan kerusakan oksidatif pada paru.
Pemeriksaan histopatologi adalah standard baku untuk mendiagnosis kanker paru. Pada pasien ini hasil pemeriksaan histopatologi dari biopsi transthorakal dengan tuntunan CT scan thorax adalah adenocarsinoma kemudian dilakukan pemeriksaan EGFR didapatkan adanya EGFR mutasi positif. Sesuai dengan  penderajatan internasional kanker paru berdasarkan sistem TNM maka pasien ini digolongkan dalam staging IV ( T2 N0 M1 ). Pengobatan kanker paru tergantung  jenis histopatologi tumor, staging tumor, dan tampilan (performance status)  lebih dari 60 menurut skala Karnofsky atau sama dengan 2 menurut skala WHO.
Pasien ini diberikan terapi Gefitinib berdasarkan hasil pemeriksaan EGFR mutasi positif (gambar 6). Gefitinib adalah salah satu TKI yang merupakan agen terapi target yang bekerja menghambat jalur sinyal EGFR. Peningkatan sensitifitas terhadap pemberian TKI berkaitan dengan mutasi gen EGFR. Mutasi gen EGFR dengan domain tirosin kinase pada ekson 18-24 berkorelasi secara bermakna terhadap pemberian gefitinib. Sehingga mutasi gen EGFR berperan sebagai faktor prediktif pemberian TKI.
            EGFR TKI, seperti gefitinib and erlotinib, hubungannya dengan aktivitas anti tumor, menghambat berbagai jalur sinyal yang mengaktifkan proliferasi sel dan respon sel lainnya termasuk migrasi dan angiogenesis sel (Gambar 7). EGFR TKI  telah disepakati di Korea sebagai first-line terapi kanker paru jenis NSCLC dengan EGFR mutasi positif. Pada penelitian  Iressa Pan-Asia Study (IPASS), tumor dengan EGFR mutasi menunjukkan respon klinis 71.2% dengan pemberian terapi Gefinitib,  hanya sekitar 1,1% pasien tanpa mutasi gen EGFR yang respons terhadap terapi. Penelitian Mitsunomi dkk menunjukkan bahwa tumor dengan mutasi EGFR berkorelasi baik tapi tidak sempurna terhadap respon klinis pada pasien dengan post operasi NSCLC, selanjutnya pasien dengan mutasi EGFR bertahan selama jangka waktu jauh lebih lama dari pada mereka yang tanpa mutasi EGFR.
            Karakteristik klinik yang dapat digunakan sebagai prediktor pemberian TKI yaitu adenokarsinoma, jenis kelamin perempuan, ras Asia, dan bukan perokok.
Pada sel kanker, agen kemoterapi konvensional bekerja menghambat secara tidak spesifik sehingga menimbulkan toksisitas tidak hanya bagi sel kanker namun juga bagi sel normal. Banyak agen sitotoksik mempunyai batas terapi yang sempit sehingga kecenderungan menderita efek samping yang berat berkaitan dengan terapi lebih besar dibandingkan manfaat secara klinik. Dengan terapi yang mengarah jalur spesifik yang menghentikan pertumbuhan kanker dapat mengurangi toksisitas bagi sel normal sehingga meningkatkan tolerabilitas. Paradigma terapi pun telah bergeser menjadi lebih rasional dan mekanistik ke arah terapi target dengan ditemukan obat anti kanker yang baru. Sebagai prinsip, terapi target menyerang secara spesifik elemen sel kanker yang penting untuk pertumbuhan ataupun ketahanan hidup serta mencegah efek samping berat karena pemberian sitotoksik konvensional.
 Dimerisasi reseptor EGF dengan ligan memicu fosforilasi residu tirosin yang terletak di domain intraseluler sehingga menyebabkan aktivasi jalur Ras/Raf/Erk, PI3K/Akt, PLC-γ, dan jalur JAK/STAT. Sinyal yang sampai di inti sel akan diolah berupa proliferasi, invasi, angiogenesis, metastasis, dan resisten apoptosis. 


Gambar 2. Epidermal growth factor receptor (EGFR) tyrosine kinase inhibitors (TKIs) sebagai terapi lini pertama pada NSCLC dengan EGFR mutasi posotif.

Gambar 3. Jalur sinyal gen Epidermal Growth Factor Receptor (EGFR).






Apa sih STENOSIS PULMONAL itu ?


 "STENOSIS PULMONAL”



Penyakit katup jantung adalah semua penyakit yang melibatkan satu atau lebih dari satu jenis katup yang ada di jantung (katup aorta dan mitral di jantung kiri, dan katup pulmonal serta tricuspid di jantung kanan). Penyakit katup jantung biasanya merupakan penyakit kongenital (dibawa sejak lahir) atau didapat (karena beberapa sebab yang terjadi setelah kelahiran). Penatalaksanaan penyakit katup jantung dapat berupa pengobatan secara medis, tapi bila sudah semakin parah maka harus dilakukan operasi, berupa perbaikan atau penggantian katup (repair atau replacement).

Katup pulmonal adalah katup semilunar yang berada diantara ventrikel kanan dan arteri pulmonalis. Katup ini memiliki 3 daun katup/cuspis. Sama dengan katup Aorta, katup pulmonal juga terbuka saat sistol ventrikel, ketika tekanan di ventrikel kanan meningkat di atas tekanan di arteri pulmonalis.
Pada akhir dari sistol ventrikel, ketika tekanan di ventrikel kanan menurun secara cepat, tekanan di arteri pulmonalis akan menutup katup pulmonal dan mencegah darah yang sudah masuk ke arteri pulmonalis untuk kembali ke ventrikel kanan. Menutupnnya katup pulmonal ini menimbulkan suara jantung kedua (S2).



(Gambar Irisan Jantung dan Aliran Darah)  
        
 (Gambar Katub Pulmonal)


       Stenosis pulmonal adalah obstruksi aliran keluar dari ventrikel kanan pada tingkat katup pulmonal sekunder dari morfologi katup yang abnormal. Stenosis katup pulmonal terjadi kira-kira 7-12% dari semua CHD dan bertanggungjawab 80-90% dari semua lesi yang menyebabkan obstruksi aliran keluar dari ventrikel kanan.     
Stenosis pulmonalis dapat disebabkan oleh kelainan kongenital maupun didapat. Kelainan didapat diantaranya disebabkan oleh reumatik jantung, tuberculosis, malignant circinoid tumor endocarditis, miksoma dan sarcoma. Kelainan sejak lahir merupakan kelainan yang paling banyak pada stenosis pulmonal.
            Obstruksi kongenital dapat terjadi pada katup pulmonal, dibawah katup pulmonal atau diatas katup pulmonal. Dibawah katup pulmonal, obstruksi dapat terjadi di infundibulum maupun di subinfundibulum.

PATOFISIOLOGI

Tahanan yang tinggi pada katup akan menyebabkan peningkatan tekanan gradient antara ventrikel kanan dan sirkulasi pulmonal dan dapat menyebabkan gagal jantung kanan. Stenosis pulmonal dianggap ringan jika puncak gradian katup lebih 30 mmHg, sedang jika gradient 30-50 mmHg, dan berat jika gradien lebih dari 50 mmHg.

MANIFESTASI KLINIS
Efek dari stenosis pulmonal tergantung besarnya obstruksi, hubungannya dengan fungsi ventrikel kanan, dan ada tidaknya hubungan lesi yang lain. Pada pasien dengan stenosis pulmonal ringan sampai sedang biasanya tidak mempunyai keluhan, pasien ditemukan karena ada bising sistolik pada pemeriksaan fisis biasa. Bahkan pasien dengan stenosis pulmonal beratpun kadang tanpa keluhan. Kalau ada keluhan biasanya berupa dyspnoe d’effort, rasa lelah yang berlebihan. Kedua keluhan ini sehubungan dengan isi sekuncup yang tidak adekuat pada saat olahraga. Tak ada keluhan ortopnea  karena tekanan vena pulmonal normal pada stenosis pulmonal..
Gagal jantung kanan bisa terjadi pada stenosis pulmonal berat. Sinkop bisa terjadi akan tetapi kematian mendadak (seperti pada stenosis aorta) tidak terjadi. Gejala gagal jantung kanan (edema,
sianosis atau penyakit kuning, dsb), sianosis pada pasien dengan shunt kanan ke kiri (berkaitan dengan ASD atau patent foramen ovale) dan juga mungkin terdapat retardasi pertumbuhan pada anak. 

 PEMERIKSAAN FISIS
Tanda fisik termasuk wajah tampak bulat, merupakan karakteristik wajah pada sindrom noonan dan sindrom William. Pada auskultasi terdapat klik ejeksi pulmonal pada pasien dengan stenosis katup pulmonal danbising sistol ejeksi biasanya teerdengar di ICS 2 sampai 4.
Pada stenosis pulmonal ringan terdengar bunyi jantung kedua (A2 dan P2) pecah dengan baik dan luas, tetapi pada stenosis pulmonal berat P2 lambat dan lemah dan mungkin tidak terdengar.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
             Dengan pemeriksaan elektrokardiogram, stenosis pulmonal yang ringan biasanya normal, sedang pada yang berat terdapat gambaran hipertropi atrium dan ventrikel kanan. Beratnya stenosis pulmonal berhubungan dengan rasio antara gelombang R/S di V1. Makin berat kelainan makin tinggi R di V1. Ada deviasi axis jantung ke kanan pada rekaman elektrokardiografi. Pemeriksaan radiologis thorax menunjukkan gambaran jantung dan paru-paru normal jika stenosis mild dan moderat. 
            Pada stenosis pulmonal berat tampak arteri pulmonalis dilatasi post stenosis. Gambaran pembesaran ventrikel dan atrium kanan tampak pada stenosis pulmonal berat. Pemeriksaan ekokardiografi pada stenosis pulmonal berat menunjukkan adanya hipertropi ventrikel kanan, pada pemeriksaan langsung di katup pulmonal terlihat kenaikan gelombang katup atrial. Pemeriksaan Transthoracal Echocardiographi (TTE) umumnya defenitif, tetapi beberapa pasien Transesophageal Echocardiographi (TEE) lebih baik menilai anatomi dari RVOT. Sering tampak dilatasi pulmonal poststenosis tetapi tidak ada hubungan dengan beratnya stenosis. Ukuran annulus katup adalah normal.
            Pemeriksaan kateterisasi jantung jarang diperlukan untuk mendiagnosis. Kateterisasi menilai tekanan gradient melalui stenosis katup pulmonal dan selektif angiografi pulmonal menentukan lokasi, luas dan distribusi lesi pada stenosis arteri pulmonal perifer. Ukuran lubang katup pulmonal yang mengalami stenosis dapat dapat ditentukan dengan kateterisasi jantung sekalian mengukur perbedaan tekanan katup pulmonal saat sistolik dan isi semenit. Tak ada shunt dari kiri ke kanan, sedangkan dari kanan ke kiri kadang ada walaupun hanya kecil pada pasien dengan defek septum atrial atau patent foramen ovale. Angiografi ventrikel kanan membantu menilai fungsi kontraksi, adanya obstruksi infundibulum, dan pergerakan katup pulmonal. Angiografi arteri pulmonal dapat menilai derajat regurgitasi pulmonal dan lesi stenosis arteri pulmonal utama, cabang atau perifer.

PENGOBATAN
Tidak ada terapi spesifik pada pasien dengan stenosis pulmonal. Jika terjadi gagal jantung kanan, diobati dengan pemberian diuretik. Ada sedikit data yang mendukung keberhasilan pemberian digoxin pada keadaan ini. Pasien dengan aritmia atrial, sering memerlukan terapi antiaritmia, ablasi atau keduanya. Pengobatan pada stenosis pulmonal berat adalah dengan valvuloplasti balon percutaneus atau dengan intervensi pembedahan.

















.