Kanker paru merupakan penyebab kematian terbanyak karena kanker.
Sebanyak sepertiga kematian karena kanker di seluruh dunia disebabkan kanker
paru. Sedangkan di Amerika Serikat (AS), kanker merupakan penyebab
kematian kedua terbanyak dengan tingkat mortalitas tertinggi adalah kanker paru. Gambar 1 menampilkan tren tingkat
mortalitas kanker di Amerika Serikat tahun 1930-2006 pada laki laki dan perempuan. Pada tahun
2010
American Cancer Society (ASC) memperkirakan bahwa
kanker
paru-paru mencapai lebih dari 222.520 kasus baru di
Amerika Serikat selama tahun 2010 dan 157.300 kematian akibat kanker. Berdasarkan
laporan Direktorat Jenderal Pelayanan Medik tahun 2004, kanker
paru menempati peringkat keenam diantara sepuluh penyakit neoplasma ganas
terbanyak pasien rawat inap di rumah sakit di Indonesia dengan jumlah
penderita 2.757 orang atau dengan proporsi 3,2%. Angka ini meningkat menjadi 5,8%
pada tahun 2005.
Gambar 1.
Tingkat mortalitas kanker per tahun disesuaikan berdasarkan usia pada (a)
laki-laki dan (b) perempuan di Amerika Serikat tahun 1930-2006.
Dalam praktek klinik, kanker paru dibagi menjadi dua tipe yaitu kanker
paru karsinoma bukan sel kecil (KPKBSK atau non
small cell lung cancer / NSCLC) dan kanker paru karsinoma sel kecil (KPKSK
atau small cell lung cancer / SCLC).
NSCLC lebih sering ditemukan dan merupakan 85% dari semua kasus kanker paru. NSCLC
lebih lambat bermetastase ke organ lain dibandingkan dengan SCLC. Ada tiga
jenis utama kanker NSCLC
yang diberi nama sesuai dengan jenis sel dimana berkembang yaitu squamous cell carcinoma (20-30% dari
kanker paru), adenocarcinoma (40-50% dari kanker paru), dan large cell
carcinoma (5-10% dari kanker paru). Selain dibagi berdasarkan
tipe selnya, kanker paru juga dibagi berdasarkan stadium klinis yang mengacu
pada sistem TNM (tumor, nodul, metastase). Pembagian tipe dan stadium klinis
kanker paru tersebut memudahkan dalam penatalaksanaan kanker paru.
Saat ini paradigma terapi telah bergeser menjadi lebih rasional ke arah
terapi target dengan penemuan obat anti kanker yang baru. Agen
terapi target yang bekerja menghambat jalur sinyal Epidermal Growth Factor
Receptor (EGFR) yakni Tyrosin Kinase Inhibitor (TKI) seperti gefitinib
dan erlotinib telah mulai digunakan dan menjadi contoh pergeseran paradigma
terapi.
Pada laporan kasus ini dilaporkan
seorang penderita tumor paru jenis
adenokarsinoma dengan hasil pemeriksaan
EGFR mutasi positif dan telah menjalani terapi target yaitu gefitinib 250 mg
per hari.
LAPORAN KASUS
- Telah dilaporkan satu kasus, perempuan umur 47 tahun, dengan Diagnosis Tumor Paru jenis NSCLC tipe adenicarsinoma dengan staging IB ( T2 N0 Mx ) ditegakkan berdasarkan anamesis, pemeriksaan fisik, foto thoraks, MSCT scan thorax, dan pemeriksaan sitologi. Pasien ini mendapatkan terapi gefitinib 250 mg per hari berdasarkan hasil pemeriksaan EGFR mutasi positif. Gefitinib adalah salah satu TKI yang merupakan agen terapi target yang bekerja menghambat jalur sinyal EGF.
- Telah dilaporkan satu kasus, perempuan umur 47 tahun, masuk RS X(tipe B) dengan keluhan sakit kepala hebat dan setelah perawatan hari ke-4 pasien mengalami kesadaran menurun akhirnya dirujuk ke RS Y(Tipe A). Tidak ada keluhan sesak, nyeri dada, demam, batuk hanya kadang-kadang tidak berlendir dan tidak disertai darah. Riwayat penurunan berat badan 2 kg dirasakan sejak 1 bulan. Tidak ada riwayat terpapar dengan asap rokok. Tidak ada riwayat penyakit tumor dan tidak ada keluarga menderita penyakit kanker. Pasien bekerja sebagai PNS.
Pada fase awal kebanyakan kanker paru tidak memberikan
gejala-gejala klinis yang berat. Apabila sudah menimbulkan gejala berarti
pasien dalam stadium lanjut. Adapun manifestasi klinis tidak khas ( menyerupai
penyakit paru lainnya ). Manifestasi klinisnya tergantung pada tipe dan lokasi
tumor, luasnya penyebaran lokal, adanya metastase jauh, dan adanya sindrome paraneoplastik.
Anamnesis yang lengkap dan pemeriksaan fisis yang teliti,
merupakan kunci untuk diagnosis yang tepat. Selain gejala klinis yang telah
disebutkan sebelumnya, beberapa faktor perlu diperhatikan pada pasien tersangka
kanker paru seperti umur, kebiasaan merokok, adanya riwayat kanker dalam
keluarga, terpapar zat karsinogen atau jamur, dan infeksi yang dapat menyebabkan
nodul soliter paru.
Seperti umumnya kanker yang lain penyebab yang pasti
dari pada kanker paru belum diketahui, tapi paparan inhalasi berkepanjangan
suatu zat yang bersifat karsinogenik merupakan faktor penyebab utama disamping
adanya faktor lain seperti kekebalan tubuh, genetik dan lain-lain. Dari beberapa kepustakaan telah dilaporkan bahwa etiologi kanker paru sangat
berhubungan dengan kebiasaan merokok. Wang dkk melaporkan bahwa status merokok,
termasuk lamanya merokok dan jumlah rokok yang dihisap per hari, memainkan peran penting dalam mutasi EGFR pada pasien dengan adenokarsinoma paru. Belakangan, dari laporan beberapa
penelitian mengatakan bahwa perokok pasif pun akan berisiko terkena kanker
paru.
Pasien ini tidak ada riwayat terpapar dengan asap
rokok, asbes, radiasi maupun polusi udara karena pasien dan suaminya tidak
merokok, bekerja sebagai PNS. Pada penderita kanker paru yang tidak merokok,
variasi jenis sel dipengaruhi oleh faktor genetik. Menurut Wong dkk,
ketidakseimbangan alel pada 16q24, 17q22 dan 19q13,3 berpengaruh terhadap
timbulnya kanker paru tipe adenokarsinoma terutama perempuan. Faktor hormonal juga berperan dalam
timbulnya kanker paru terutama pada perempuan. Hormon yang berperan adalah
estrogen. Estrogen dapat memicu karsinogenesis dengan mengaktivasi proliferasi
sel secara langsung pada fibroblast paru atau melalui aktivasi metabolik
sehingga menyebabkan kerusakan oksidatif pada paru.
Pemeriksaan histopatologi adalah standard baku untuk
mendiagnosis kanker paru. Pada pasien ini hasil pemeriksaan histopatologi dari biopsi
transthorakal dengan tuntunan CT scan thorax adalah adenocarsinoma kemudian
dilakukan pemeriksaan EGFR didapatkan adanya EGFR mutasi positif. Sesuai dengan
penderajatan
internasional kanker paru berdasarkan sistem TNM maka pasien ini digolongkan dalam staging IV ( T2 N0 M1 ). Pengobatan
kanker paru tergantung jenis
histopatologi tumor, staging tumor, dan tampilan (performance status) lebih dari 60 menurut skala Karnofsky atau
sama dengan 2 menurut skala WHO.
Pasien
ini diberikan terapi Gefitinib berdasarkan hasil pemeriksaan EGFR mutasi
positif (gambar 6). Gefitinib adalah salah satu TKI yang merupakan
agen terapi
target yang bekerja menghambat jalur sinyal EGFR. Peningkatan
sensitifitas terhadap pemberian TKI berkaitan dengan mutasi gen EGFR. Mutasi gen EGFR dengan domain tirosin kinase pada ekson 18-24 berkorelasi
secara bermakna terhadap pemberian gefitinib. Sehingga mutasi gen EGFR berperan
sebagai faktor prediktif pemberian TKI.
EGFR TKI, seperti gefitinib and erlotinib,
hubungannya dengan aktivitas anti tumor, menghambat berbagai jalur sinyal yang
mengaktifkan proliferasi sel dan respon sel lainnya termasuk migrasi dan
angiogenesis sel (Gambar 7). EGFR TKI telah
disepakati di Korea sebagai first-line terapi kanker paru jenis NSCLC dengan EGFR
mutasi positif. Pada
penelitian Iressa Pan-Asia Study (IPASS),
tumor dengan EGFR mutasi menunjukkan respon klinis 71.2% dengan pemberian
terapi Gefinitib, hanya sekitar 1,1%
pasien tanpa mutasi gen EGFR yang respons terhadap terapi. Penelitian Mitsunomi dkk menunjukkan bahwa
tumor dengan mutasi EGFR berkorelasi baik tapi tidak sempurna terhadap respon
klinis pada pasien dengan post operasi NSCLC, selanjutnya pasien dengan mutasi
EGFR bertahan selama jangka waktu jauh lebih lama dari pada mereka yang tanpa
mutasi EGFR.
Karakteristik klinik yang dapat
digunakan sebagai prediktor pemberian TKI yaitu adenokarsinoma, jenis kelamin
perempuan, ras Asia, dan bukan perokok.
Pada sel kanker, agen kemoterapi konvensional bekerja menghambat secara
tidak spesifik sehingga menimbulkan toksisitas tidak hanya bagi sel kanker
namun juga bagi sel normal. Banyak agen sitotoksik mempunyai batas terapi yang
sempit sehingga kecenderungan menderita efek samping yang berat berkaitan
dengan terapi lebih besar dibandingkan manfaat secara klinik. Dengan terapi
yang mengarah jalur spesifik yang menghentikan pertumbuhan kanker dapat
mengurangi toksisitas bagi sel normal sehingga meningkatkan tolerabilitas.
Paradigma terapi pun telah bergeser menjadi lebih rasional dan mekanistik ke
arah terapi target dengan ditemukan obat anti kanker yang baru. Sebagai
prinsip, terapi target menyerang secara spesifik elemen sel kanker yang penting
untuk pertumbuhan ataupun ketahanan hidup serta mencegah efek samping berat
karena pemberian sitotoksik konvensional.
Dimerisasi
reseptor EGF dengan ligan memicu fosforilasi residu tirosin yang terletak di
domain intraseluler sehingga menyebabkan aktivasi jalur Ras/Raf/Erk, PI3K/Akt,
PLC-γ, dan jalur JAK/STAT. Sinyal yang sampai di inti sel akan diolah berupa
proliferasi, invasi, angiogenesis, metastasis, dan resisten apoptosis.
Gambar 2. Epidermal growth factor receptor (EGFR) tyrosine kinase inhibitors (TKIs) sebagai
terapi lini pertama pada NSCLC dengan EGFR mutasi posotif.
Gambar 3. Jalur
sinyal gen Epidermal Growth Factor Receptor (EGFR).
0 komentar:
Posting Komentar